Oleh: Ustadz Abu Hudzaifah al-Atsary hafizhahullah
Sekitar tahun 80-an, banyak orang-orang yang menamakan anaknya dengan Ayatullah dan Al Khomeini, salah satunya adalah teman SD saya yang namanya Ramatullah Al Khomeini. Entah berapa banyak kaum muslimin yang terkagum-kagum dengan sosok ‘Khomeini’ sebagai pemimpin revolusi Iran. Kekaguman tersebut sebenarnya bisa dimaklumi mengingat banyaknya orang yang tertipu sejak dahulu oleh sosok kakek tua dengan jenggot putih lebat yang “Zuhud” ini. Kekaguman yang sama juga pernah terjadi pada sosok Saddam Hussein saat perang teluk tahun 90-an meletus. Bahkan saya masih ingat sebuah pemberitaan di salah satu stasiun televisi bahwa ada sekitar 300-an bayi yang lahir dinamakan Saddam Hussein, dan semua bayi tersebut adalah orang Indonesia!
Demikianlah karakter bangsa kita yang demikian latah dan mudah bersimpati. Sekali lagi itu bisa dimaklumi mengingat Indonesia sendiri adalah bukan negara Islam, namun negara Pancasila dan UUD ‘45. Artinya, meski mayoritas rakyat Indonesia adalah muslimin Ahlussunnah bermadzhab Syafi’i, akan tetapi mereka rata-rata jahil terhadap pokok-pokok ajaran Ahlussunnah itu sendiri. Ini merupakan salah satu buah manis dari sekulerisme yang diadopsi dalam pendidikan-pendidikan di sekolah Negeri selama ini.
Saya berkata demikian karena saya sendiri pernah mengenyam pendidikan Negeri selama enam tahun. Hasilnya? Ya beginilah… tidak bisa mengenali yang hak dari yang batil, dan tidak membedakan mana kawan dan mana lawan… kalau saja Allah tidak berkenan memberi hidayah kepada saya hingga tergerak untuk mempelajari agama lebih dalam dari sumber yang otentik.
Salah satu fitnah besar yang melanda kaum muslimin di era 80-an adalah fitnah Revolusi Iran. Bagaimanakah hakikat revolusi Iran tersebut? Siapakah tokoh-tokohnya? Benarkah Iran adalah negara Islam? Insya Allah kami akan mencoba memberikan jawaban atas itu semua melalui tulisan ini. Dan perlu diketahui, bahwa dalam menulis artikel ini saya banyak merujuk kepada sebuah buku yang ditulis oleh mantan orang dekatnya Khomeini, yaitu DR. Musa Al Musawi. Beliau adalah mantan tokoh Syi’ah yang kemudian taubat setelah mengetahui berbagai kesesatan dan kebobrokan ajaran Syi’ah. Beliau sendiri telah menulis beberapa buku tentang hal itu, dan mengalami beberapa percobaan pembunuhan karenanya. Yang terbaru dari tulisan-tulisan beliau adalah kitab Ats Tsaurah Al Baa-isah, yang tak lain adalah buku yang kami maksud.
Tulisan ini adalah sebagian kecil dari apa yang beliau paparkan dengan sangat indah dan ilmiah tentang Revolusi Iran, yang insya Allah jika tersisa waktu, saya akan menerjemahkannya secara keseluruhan.
Kondisi Iran Pra Revolusi
Sebelum tercetus revolusi tahun 1979, Iran berada di bawah kekuasaan Shah Muhammad Reza Pahlevi yang diktator dan tiran. Meski Iran merupakan negara penghasil minyak terbesar nomor tiga di dunia, yang meraup keuntungan 40 miliar dollar lebih tiap tahun dari penjualan minyaknya, akan tetapi rakyatnya hidup sangat menderita di bawah pemimpin yang diktator dan negara yang disetir sepenuhnya oleh Amerika Serikat ini. Pemerintah Iran bahkan mempekerjakan 50 ribu orang AS sebagai penasehat, dengan gaji total 4 miliar dollar tiap tahunnya. Namun di saat yang sama, rakyatnya hidup dalam keterpurukan sebagaimana yang digambarkan oleh Dr. Musa Al Musawi sbb:
– 70 % rakyat Iran tidak bisa baca-tulis, dan tidak memiliki sarana belajar-mengajar.
– 80 % rakyat Iran masih kekurangan pelayanan medis.
– 85 % kota dan desa kecil di Iran masih memerlukan jalur transportasi yang layak serta pengadaan air, listrik, dan perumahan modern.
– Jumlah pengangguran mencapai 1,5 juta orang dan mereka berkeliaran di jalan-jalan atau hijrah ke negara-negara teluk demi mencari sesuap nasi.[1]
Seiring dengan terpilihnya Presiden AS yang baru, Jimmy Carter, kondisi tiba-tiba berubah drastis. Carter yang berasal dari Partai Demokrat ini membuat kejutan untuk dunia. Ia berpidato di depan rakyat AS tentang HAM dan selama memerintah ia akan menolong rakyat-rakyat yang ditindas oleh penguasanya, dan tidak akan menolong seorang penguasa pun yang menindas rakyatnya, meskipun AS terikat hubungan baik dengan mereka.
Jika Carter memang jujur ingin mewujudkan janjinya, maka urutan pertama dari daftar penguasa tiran tadi ditempati ole Shah Iran, yang ketika itu telah menandatangani 900 perjanjian dengan AS, baik dalam masalah ekonomi, militer, maupun politik.
Meski kepentingan AS menjadi target utama setiap presiden yang berkantor di gedung putih, akan tetapi Carter tidak bisa melupakan janjinya demikian saja setelah mengumbarnya di depan rakyat AS dan dunia. Maka mulailah Carter menasehati sahabat lama Amerika ini, agar memberikan sedikit kebebasan kepada rakyat Iran. Shah pun menurut, dan rakyat Iran jadi tahu bahwa perubahan politik Shah tak lain karena tekanan dari ‘tuan’-nya, yaitu AS.
Rakyat Iran segera tergerak untuk melepaskan diri mereka dari cengkeraman penguasa kejam yang tega berbuat apa saja terhadap rakyatnya selagi ia mampu, yang sekarang harus patuh kepada pengaruh asing hingga menampakkan sikap lunak terhadap rakyatnya. Rakyat Iran harus segera memanfaatkan situasi ini sebelum semuanya berubah dan kembali seperti semula.[2]
Mengapa Khomeini[3] yang Memimpin Revolusi?
Kelompok-kelompok yang memusuhi Shah tahu benar bahwa kesempatan sedang terbuka untuk mereka, dan mereka tidak boleh menyia-nyiakannya. Mengingat Shah mulai menuruti kemauan rakyat, maka rakyat harus terus menaikkan tuntutannya terhadap hak-hak mereka yang selama ini dirampas, maka kelompok-kelompok anti Shah pun bersatu melawan musuh bersama mereka.
Bangsa Iran saat itu boleh jadi merupakan bangsa muslim yang masih memiliki semangat keimanan, dan hal ini harus dimanfaatkan, lebih-lebih mengingat adanya permusuhan sengit antara Shah dengan banyak tokoh agama, dan di antara tokoh yang paling menentangnya adalah Khomeini yang saat itu sedang berada di Irak, jauh dari jangkauan Shah dan aman dari gangguan pasukannya. Maka kelompok-kelompok politik yang bersekutu tadi sepakat untuk mengangkat Si Kakek yang berusia 80 tahun ini sebagai pemimpin revolusi.
Semua orang mulanya mengira bahwa jatuhnya pilihan atas Khomeini sebagai pemimpin revolusi akan mengobarkan semangat persatuan bagi rakyat Iran dalam perjuangannya, sekaligus menyatukan berbagai kelompok dan unsur yang berbeda ideologi. Tak ada seorang pun yang menyangka bahwa bila revolusi ini berhasil maka pemimpinnya akan mengkhianati kepercayaan yang diberikan rakyat kepadanya, lalu melakukan pengkhianatan besar dengan memonopoli kekuasaan untuk pribadi dan golongannya (baca: Syi’ah), dengan cara-cara keji yang membuat bulu kuduk berdiri mendengarnya!
Yang diramalkan oleh banyak kalangan ialah bahwa Khomeini bersedia memimpin revolusi tanpa berhasrat terhadap kekuasaan, hingga dialah satu-satunya yang dianggap sesuai untuk menyatukan berbagai kelompok politik yang berlainan ideologi tersebut. Apalagi mengingat bahwa Khomeini telah bersumpah demi Allah di hadapan dunia bahwa ia dan kelompoknya tidak menginginkan keuntungan apa-apa dari revolusi tersebut jika berhasil, bahkan mereka menyatakan akan kembali ke madrasah-madrasah dieniyyah mereka di Qum, untuk mengkaji, menulis buku, dan mengajar. Sedangkan rakyat akan diberi kebebasan penuh untuk menentukan pemimpin baru yang mereka sukai.[4]
Selama enam bulan pada tahun 1979, perhatian pers dunia tertumpah pada revolusi Iran. Berbagai media massa internasional berusaha mewawancarai Khomeini yang kala itu bermukim di Prancis –setelah dia diusir dari Irak-. Banyak pula dari media massa tadi yang bercerita tentang kezuhudan, kewara’an, dan ‘ketaqwaan’ Khomeini; plus janjinya untuk menerapkan syariat Islam bila revolusinya berhasil.[5]
Khomeini dan Kepentingan AS
Perlu diketahui bahwa berhasilnya revolusi Iran di bawah pimpinan Khomeini dalam menggulingkan Shah yang sebelumnya didukung penuh oleh AS dengan 50 ribu penasehatnya, adalah perkara yang sulit diterima jika terjadi tanpa dukungan internal AS sendiri.
Berdasar pengakuan kelompok Khomeini, AS ternyata mengubah kebijakan politiknya terhadap Shah di bulan-bulan terakhir menjelang jatuhnya pemerintahan Shah, dan mulai mengontak Khomeini dan kelompoknya. Ada kemungkinan bahwa AS telah mengetahui penyakit kanker yang diderita oleh Shah dan menduga bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, dan bila ia mati maka belum ada pengganti yang sekuat dan seloyal dia. Intinya, AS harus mencari pengganti Shah yang kuat, bersahabat, dan mau didekte demi kepentingan AS. Dari sini, kita harus menyebutkan peran penting yang dimainkan Khomeini dan kelompoknya bersama orang-orang Amerika, yang menunjukkan bahwa kebijakan politik yang akan mereka terapkan pasca berhasilnya revolusi harus loyal terhadap AS; dan perlu kita ketahui bahwa perhatian politik AS yang pertama ialah untuk mengalahkan komunisme di Timur Tengah, lebih-lebih mengingat posisi strategis Iran yang demikian penting.[6]
Jadi, tersingkirnya Shah sebagai sekutu yang ’sakit’ bila digantikan dengan penguasa religius yang konservatif dan kaku, yang dapat menumpas komunisme dengan pedang Islam, bisa diangap sebagai sekutu alami buat AS. Intinya, menumpas komunisme hingga ke akar-akarnya atas nama agama dan keimanan –sebagaimana yang diketahui oleh dunia- tidak lain termasuk bagian dari skenario utama politik AS di wilayah yang sensitif tersebut, mengingat Timur Tengah memiliki 70% dari cadangan minyak dunia yang menjadi bahan bakar peradaban Eropa dan Amerika.[7]
Kronologi Revolusi
Ada sejumlah kelompok yang bersatu dan bekerja sama untuk menggulingkan Shah di waktu yang tepat. Kelompok-kelompok tersebut mampu melakukan penggalangan massa di semua tempat, contohnya adalah:
- Garda Nasional (الجبهة الوطنية) di bawah pimpinan Dr. Mushaddiq.
- Gerakan Perlawanan Rakyat (نهضة المقاومة الشعبية), yang didirikan oleh ‘Imam’ Az Zinjani dan Ir. Bazarkan setelah keduanya memisahkan diri dari Garda Nasional. Kedua kelompok ini memiliki penetrasi yang besar ke lingkungan kampus dan Bazar (pusat-pusat perdagangan).
- Mujahidin Kholq (مجاهدين خلق), yaitu partai politik yang didirikan oleh Musa Khayabani, Mas’ud Rajawi, dan lain-lain. Mereka mulai merongrong pemerintahan Shah dengan berbagai perlawanan bersenjata. Pemimpin spiritual mereka adalah Ayatullah Ath Thaliqani, dan partai ini para pelajar dan mahasiswa. Shah konon menjuluki mereka sebagai ‘muslimin Marxis’ dan mereka berperan sangat besar dalam menjatuhkan Shah.
- Tokoh-tokoh agama yang sebelumnya diintimidasi di bawah kekuasaan Shah selama bertahun-tahun pasca konfrontasi berdarah antara Shah dan para pemimpin spiritual. Mereka memiliki pengaruh yang luas di kalangan pemuda, seperti Ayatullah Ath Thaliqani, Imam As Sayyid Hasan Al Qummi, Imam Asy Syaikh Bahauddin Al Mahlaaty, dan Imam Al Khaqani. Mereka semuanya berseberangan dengan Khomeini dan kelompoknya baik dalam pemikiran maupun politik. Akan tetapi mereka disatukan oleh ‘musibah’ yang sama, hingga berada satu parit untuk melawan Shah, meski mereka tetap menjaga prinsip-prinsip yang mereka pegangi serta independen dalam mengambil keputusan.
- Kelompok Dr. Shariati. Mereka sejak dahulu merupakan golongan akademisi yang bersemangat untuk melakukan tajdid Islami. Mereka semua telah dibius oleh pemikiran Shariati yang rumit, dan intinya memusuhi kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh agama yang loyal kepada Shah.
- Khomeini dan kelompoknya yang terdiri dari tokoh-tokoh agama baik di dalam maupun di luar Iran.
- Golongan-golongan ‘kiri’, termasuk di antaranya Partai Komunis Tawdah.
Berbagai kelompok dan unsur ini bersatu untuk menggulingkan Shah. Meski masing-masing kelompok menganggap bahwa pihaknya lah yang pantas memegang kendali pemerintahan setelah revolusi berhasil, namun akhirnya mereka sepakat untuk memilih seorang pemimpin untuk mengarahkan pergerakan, dan pemimpin tersebut menurut anggapan mereka ‘tidak tamak’ terhadap kekuasaan, hingga jatuhlah pilihan kepada Khomeini.
Khomeini memainkan peran besar dalam mengelabui rakyat dan berbagai kelompok anti-Shah tadi, dan tidak menunjukkan bahwa dialah yang paling pantas memimpin revolusi jika mereka semua bergabung di bawah panji-panjinya. Berangkat dari sini, Bazarkan ditunjuk sebagai perdana menteri pertama pasca revolusi dan hanya sedikit dari kelompok Khomeini yang menduduki kekuasaan. Ini merupakan bukti kongkrit bahwa Khomeini konsekuen dengan sistem yang diinginkan oleh seluruh rakyat. Khomeini sendiri tetap berada di neauphle-le-chateau (daerah dekat Paris, Prancis) dan mendapat kawalan dari Polisi Prancis. Berbagai radio internasional serta surat kabar besar rajin memberitakan statemen-statemennya yang anti-Shah, sedangkan pengikutnya di Iran menyebarkan kaset-kaset yang berisi khutbah patriotisme Khomeini bagi rakyat Iran. Bahkan BBC London pun ‘nimbrung’ bersama Khomeini untuk menyiarkan semua perkataan dan permintaannya kepada rakyat Iran, alias menjadi salah satu ‘jurkam’ Khomeini. Peran yang dimainkan BBC demikian besar dalam mensukseskan revolusi, sebab BBC adalah satu-satunya radio bahasa Persi yang diperhatikan oleh rakyat Iran, mengingat mereka meyakini bahwa BBC adalah jelmaan politik Inggris, dan sikap BBC yang ‘melindungi’ Khomeini dan revolusinya, adalah bagian dari politik Inggris, dan ini menunjukkan bahwa negara-negara besar itu telah sepakat untuk menyingkirkan Shah.
Prancis telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melindungi Khomeini dan memberinya kebebasan untuk bergerak semaunya. Sedangkan Russia tentu berseberangan dengan Shah melalui partai komunis Tawdah yang bersahabat dengan Khomeini.
Intinya, semua kekuatan besar telah sepakat untuk menggulingkan Shah. Khomeini pun lantas kembali ke Teheran laksana pahlawan yang disambut oleh 6 juta warganya saat mendarat di bandara Maharabad. Pertahanan udara Iran sengaja tidak menembak jatuh pesawat Boeing yang membawa Khomeini di atas wilayah udaranya, padahal pemimpin angkata udara Iran kala itu masih loyal penuh kepada Shah. Pun demikian ia tidak menembak jatuh pesawat tersebut, padahal dialah harapan terakhir untuk mengembalikan kepemimpinan Shah di mata para pendukungnya.
Akan tetapi Khomeini justeru menghukum mati orang yang tadinya bisa saja menembak jatuh pesawat yang mengangkut dirinya, dan menewaskan dia bersama seluruh kelompoknya plus 150 wartawan dari seluruh dunia.
Begitu sampai di Teheran, Khomeini mengumumkan tidak syar’i-nya pemerintahan PM Bakhtiar dan menunjuk Ir. Bazarkan sebagai PM yang baru. Iran pun mulai memasuki babak baru yang penuh kekacauan dan instabilitas. Krisis ini harus dihentikan dengan memenangkan salah satu dari berbagai golongan yang berseteru. Hari-hari pun berlalu cepat, hingga pada tanggal 14 Februari 1979 pemerintahan Bakhtiar mengumumkan darurat militer dan melarang mobilitas. Akan tetapi Khomeini menyatakan pembangkangan umum hingga berjuta orang tumpah ruah di jalan-jalan menuju kamp-kamp militer, pangkalan AU, markas SAFAK (intelijen Iran), dan pasukan-pasukan gerak cepat yang berada di bawah komando kepala tentara nasional Shah.
Sempat terjadi konfrontasi kecil, akan tetapi rakyat segera menguasai fasilitas-fasilitas militer tersebut beserta seluruh persenjataan dan amunisi yang ada di dalamnya. Mereka sempat membunuh sejumlah petinggi militer dan menawan yang lainnya saat hendak mempertahankan fasilitas militer mereka.
Jenderal Korbaghi yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi angkata bersenjata pun datang kepada Khomeini dan menyerah atas semua yang telah terjadi. Ia menyatakan takluknya militer kepada Khomeini setelah selama ini menghadapi perlawanan di jalan-jalan Teheran dan di seluruh kota Iran lainnya. Militer pun kembali ke pangkalan mereka atas perintah komandan tertinggi mereka. Khomeini lantas mengumumkan lahirnya ‘Republik Islam Iran’, dan dengan begitu berakhirlah orde Shah dan mulailah orde Syi’ah.[8]
Khomeini Pasca Revolusi
Di hari-hari pertama pasca berhasilnya revolusi, Khomeini belum menunjukkan ambisi terpendamnya untuk menguasai negara beserta rakyatnya. Ia justeru mengangkat Ir. Bazarkan sebagai PM dan memberinya kebebasan untuk memilih menteri-menterinya kecuali tiga orang, yaitu Ibrahim Yazdi (warga negara AS), Jumran, dan Shadiq Thabathaba-i. Khomeini lantas kembali ke Qumm untuk bersua dengan massa selaku pemimpin revolusi. Ia menyampaikan khutbah-khutbah hariannya setiap ada massa yang berkumpul. Akan tetapi di saat yang sama, kelompoknya menguasai empat badan terpenting, yaitu: Tentara Revolusi, Lajnah Revolusi, Mahkamah Revolusi, dan Stasiun Radio serta Televisi.
Di minggu pertama pasca Revolusi, Mahakamah Revolusi menjatuhkan hukuman mati kepada lima tokoh orde lama yang salah satunya adalah kepala SAFAK. Peradilan pun dilakukan secara cepat dan tersembunyi hingga menyebabkan dunia tercengang, sebab kelima orang tadi adalah tokoh-tokoh utama orde lama yang bisa menjadi sumber informasi berharga tentang pemerintahan yang lalu. Bazarkan pun menyatakan tidak tahu menahu tentang peradilan tersebut dan ia tidak menyetujui kecuali pengadilan yang adil sesuai undang-undang internasional. Akan tetapi tuntutan Bazarkan ibarat angin lalu dan Mahkamah Revolusi terus melangsungkan peradilannya. Rakyat pun mulai sadar bahwa Khomeini lah yang berada di balik semua peradilan tadi, dan dia sendiri yang menunjuk hakim-hakimnya dengan istrusksi khususnya. Dengan begitu, mulai nampaklah kekuatan baru yang bisa berbuat semaunya dan berada di luar kekuasaan negara.[9]
‘Buah Manis’ Revolusi
Setelah terjadinya berbagai kekacauan pasca revolusi yang akhirnya dimonopoli oleh kelompok Khomeini, dan menimbulkan banyak kerusakan dan korban, Dr. Musawi menyebutkan bahwa Khomeini pernah ditanya oleh wartawan radio sebagai berikut:
“Apakah pesan-pesan jenius yang hendak Anda ekspor ke seluruh dunia?”
- Kekacauan dan kerusakan total di seluruh infrastruktur negara.
- Eksekusi terhadap remaja puteri dan pemuda yang belum baligh.
- Eksekusi terhadap manula yang berusia di atas 80 tahun.
- Eksekusi terhadap wanita-wanita hamil.
- Perang saudara.
- Perang terhadap negara tetangga dan pembunuhan sesama muslimin.
- Membantai ribuan rakyat yang berasal dari berbagai etnis.
- Keterpurukan ekonomi di semua lini kehidupan.
- Mahkamah Revolusi yang mengeksekusi 100 orang dalam 100 menit.
- Lima macam penjara dan lima macam mahkamah serta lima kekuatan pelaksana.
- Tiga puluh ribu tahanan politik.
- Empat juta pengangguran.
- Tiga juta korban perang.
- Inflasi yang mencapai 400 % dalam dua tahun.
- Penutupan perguruan tinggi selama batas waktu yang tidak diketahui.
- Penurunan mata uang negara hingga 500 % dari nilai resminya.
Lalu si wartawan menambahkan: “Saya kira di dunia ini tidak ada sebuah kuburan pun yang mau mengimpor revolusi Anda karena akan mengganggu ketenangan orang-orang yang telah mati, lantas bagaimana dengan yang masih hidup”.[10]
Bahkan dalam kurun 8 bulan pasca revolusi, sumber-sumber kepolisian di Scontlandia, Inggris memberitakan sbb: “Heroin Iran telah menyebar di London seperti hotdog dan hamburger”. Sumber tersebut juga mengisyaratkan bahwa Iran telah memasok 58% dari heroin yang diselundupkan ke pulau-pulau di Inggris.
Sejumlah informasi yang didapat oleh polisi internasional menyebutkan bahwa para mafia narkotika memanfaatkan kekacauan politik yang ada di Iran untuk mendirikan sejumlah pabrik pengolahan opium menjadi heroin, dan perekrutan sejumlah orang-orang Iran untuk menyelundupkan heroin dalam jumlah lebih banyak ke ibukota negara-negara di Eropa.
Iran diyakini menjadi pengedar obat bius terbesar kedua setelah Amerika Serikat jika dilihat dari besarnya jumlah pecandu heroin di sana. Bahkan 75% dari jumlah tersebut adalah pemuda yang umurnya berkisar antara 15-30 tahun.[11]
Belum lagi jika berbicara tentang degradasi moral rakyat Iran pasca revolusi syi’ah-nya Khomeini, mengingat tersebarnya praktek mut’ah yang tak lain adalah zina atas nama agama. Salah seorang cucu perempuan dari rujukan syiah terkenal Ayatullah Al Haa-iry yang bernama Syahla Ha-iry dalam penelitian akademiknya yang berjudul (المتعة، الزواج المؤقت عند الشيعة، حالة إيران 1978-1982م) mengatakan (hal 24): “Ketika Dinasti Keluarga Pahlevi (1925-1979) memperolok ‘nikah sementara’ dan tidak memperhatikannya, justeru ‘Pemerintahan Islam’ kontemporer (yakni Khomeini) mendukung dan membelanya terang-terangan”. Ia juga mengatakan (hal 25): “Pemerintahan Islam melakukan usaha-usaha intensif untuk mempropagandakan lembaga ini (maksudnya lembaga mut’ah) secara terperinci dan menjelaskan landasannya yang suci serta urgensinya kepada masyarakat”.[12]
Sedangkan dari sisi agama, tentu Ahlussunnah Iran lah yang paling tertindas semenjak berhasilnya rezim Syi’ah Rafidhah memegang tampuk kekuasaan. Hal ini terbukti dengan tidak adanya sebuah mesjidpun bagi Ahlussunnah di Teheran, padahal jumlah mereka lebih dari satu juta jiwa di sana. Sedangkan Yahudi yang jumlahnya sekitar 25 ribu orang saja memiliki 76 sinagog di seluruh Iran![13].
Bahkan sebagaimana yang diberitakan oleh surat kabar The Daily News, ketika salah seorang rujukan Syi’ah yang bernama Misbah Al Yazdi ditanya tentang sebab tidak diizinkannya Ahlussunnah mendirikan mesjid di Teheran, ia menjawab: “Kalau di Mekkah telah diizinkan untuk membangun Huseiniyyah, maka barulah di Teheran boleh didirikan mesjid Ahlussunnah”.[14]
فصدق الله القائل: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ [البقرة/114] وصدق إذ قال عن هؤلاء المشركين: مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ [التوبة/17] وصدق إذ قال عن المسلمين: إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ [التوبة/18].
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
[1] Lihta: Ats Tsaurah Al Baa-isah, hal 5-6.
[2] Idem, hal 7-8.
[3] Lebih lanjut ttg jatidiri Khomeini silakan baca kitab: (الثورة البائسة) tulisan Dr. Musa Al Musawi hal 96-124 yang khusus berbicara tentang Khomeini.
[4] Idem, hal 9-10. Lihat juga: “Wa jaa-a Daurul Majuus” hal 108.
[5] Wa jaa-a Daurul Majuus, hal 108.
[6] Hal senada juga disebutkan oleh koran Al ARAB 18/2/2009 dalam tulisan bertajuk (ثلاثون سنة على الثورة الإيرانية).
[7] Idem, hal 12-13.
[8] Lihat: Ats Tsaurah Al Baa-isah, hal 18-20 dengan sedikit perubahan.
[9] Idem, hal 23-24.
[10] Idem, hal 29.
[11] Lihat: “Wa jaa-a Daurul Majuus, hal 474-475.
[12] Dinukil dari: (المتعة في إيران، تطبيق النظرية في الواقع المعاصر) www.alshomoa.net/todaynews/index.php?action=showDetails&id=8609
Lihat juga: Fashl (الرعب المدمر) di kitab: “Ats Tsaurah Al Ba-isah” untuk mengetahui detail-detail ‘buah manis’ revolusi Iran.
[13] Lihat: www.dd-sunnah.net/records/view/action/view/id/706.
[14] Lihat: www.alshomoa.net/todaynews/index.php?action=showDetails&id=11633
Sumber: http://basweidan.wordpress.com